HADIAH
UNTUK LIA
“Lia….ayo
ke aula!!kok malah bengong di sini???”
“eh
iya nes….bentar aku belum beresin tas..”ucapku
“gimana
Lia udah nyiapin pidato belum?aku yakin kamu bakal jadi juara umum lagi..” ucap
nesya sahabatku. Nesya merupakan sahabatku dari SMP sampai sekarang. Entah
kenapa kamipun selalu sekelas dan sebangku. Akupun akrab dengan kelurganya,
bahkan aku juga menegajar les privat untuk adiknya yang masih duduk di bangku
kelas enam.
“oi
Lia..jangan lupa pas pidato kelas kita disebut ya….”
“iya
lia..biar kelas kita jadi ngetoplah….kaya enyong”
Teman
– teman sekelas pun tertawa mendengar ocehan Burhan dengan gaya ngapak bahasa
Tegal. Semua orang di kelas ini percaya kalau akulah yang akan menjadi juara
umum untuk semester kemarin. Sekolahku memiliki tradisi untuk mengumumkan juara
umum pada saat hari pertama masuk sekolah. Sangatlah wajar bila teman – teman
berharap akulah yang menjadi juara umum karena dari kelas satu aku selalu
menjadi juara umum, semester lalupun aku kembali menjadi bintang kelas. Akupun
berharap kalau sekali lagi aku lah yang menjadi juara umum. Bukan untk
kebanggaan, tetapi agar aku bisa sekolah disini tanpa harus memikirkan biaya
SPP.
“selamat
pagi anak – anak….seperti biasa setiap awal semester bapak akan umumkan siapa
yang menjadi juara umum untuk Tiap kelas” ucap pak Ismail dengan suaranya yang
bijaksana. Beliau merupakan kepala sekolah yang sangat sederhana dan dekat
dengan para siswa. Beliau selalu menyempatkan hadir bila OSIS menyelenggarakan
kegiatan. Beliau memang pendiam tetapi selalu member contoh dalam setiap
perbuatannya.
“aku
yakin kamu juara umum angkatan kita…kalo IPS paling si Rahman…kamu khan udah
jadi juara kelas…”bisik Nesya.
“ssssttt….udah
kita dengerin aja pidato pak Ismail” kataku. Ucapan Nesya sebenarnya membuatku
semakin percaya diri bahwa akulah yang akan menjadi juara umum untuk kelas IPA.
Ya Allah, betapa sombongnya aku!!!kenapa aku jadi sombong begini. Bukankah
katanya Danu nilainya naik, siapa tahu dia yang juara umum atau Tasya.
“dan
yang menjadi Juara Umum kelas dua adalah……”
“pasti
Nathalia….” Salah seorang temanku berteriak.
“Lia….Lia….Lia….Lia…”
Teriak
siswa dalam gedung Aula sekolah.
“tenang
semuanya…bapak belum selesai berbicara….Juara umum untuk kelas dua
adalah….Narendra…”
Hening.
Seluruh siswa dalam ruangan ini menjadi sangat hening, tidak ada tepuk tangan
yang ada hanya gumaman dan wajah – wajah yang heran. Tepuk tangan mulai
terdengar dan itu berasal dari tangan pak Ismail. Orang – orang pun mulai sadar
dan mulai bertepuk tangan.
Bibirku
kelu, rasanya semua persendianku lemas dan badanku lemas seperti tidak ada
tulang yang menopangku. Ya Allah, Narendra anak baru itu. Bukankah dia baru
pindah dua bulan yang lalu, seharusnya dia ketinggalan materi pelajaran.
“Lia…Lia….kamu
ga apa – apa khan?”
“eh
iya…Nes…aku ga apa – apa…eh kok udah pada pergi…emang udah penyerahan
beasiswa?”tanyaku gugup. Rasanya jiwaku seperti baru kembali ke bumi setelah
Nesya mengguncang bahuku.
“kamu
ngelamun ya…si anak baru itu ga ada…tau tuch di panggil ga nongol…”jawab Nesya
ketus. Aku malu sekali dia memergokiku melamun.
“udahlah
Lia ke kelas aja yuk…ntar keburu mulai wali kelas dateng”
Kenapa
rasanya kaki ini berat sekali melangkah, rasanya malu sekali masuk kelas. Tadi
pagi mereka begitu yakin kalau akulah yang menjadi juara umum. Tapi ternyata..
“
pagi pak maap telat..habis nungguin si Lia ngelamun dulu pak…” ucap Nesya
dengan entengnya. Spontan akupun mencubit pipinya yang tembem. Sontak seluruh
kelaspun tertawa.
“sudah…sudah…semuanya
tenang…bapak mau kasih pengumuman buat kalian…” ucap pak Usman wali kelas kami.
“Lia..karena
kamu juara kedua dalam semester ini maka kamu tetap mendapatkan beasiswa tapi
hanya sampai 3 bulan…nanti kamu bisa menghubungi bagian keuangan” ucap pak
Usman. Aku mengerti ada nada penyesalan dalam suaranya. Aku tahu pak Usman
memikirkan biaya sekolahku nanti karena selama ini aku dekat dengan beliau dan
selalu terbuka mengenai apapun termasuk panti. Pak Usman dekat denganku mungkin
juga karena bu Yasmin yang menitipkanku pada pak Usman di sekolah ini.
Ah
lalu bagaimana ini, hanya 3 bulan!lalu bagaimana dengan bulan – bulan
selanjutnya. Aku tidak mungkin meminta kepada bu Yasmin. Apalagi setelah
mendengar pembicaraan bu Yasmin dengan bendahara panti asuhan. Sepertinya uang
kas panti asuhan sudah menipis. Kalau aku meminta biaya kepada panti asuhan
pasti akan sangat berat. Bagaimana ini?
Pak
Usman mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia salah satu pelajaran favoritku,
tapi entah kenapa hari ini yang ada di otakku hanya bagaimana caranya aku bisa
membayar sekolahku setelah 3 bulan. Hancur sudah semua rencana yang aku susun.
“Lia…ke
kantin yuk….!”
“LIA….!!!!!!”Teriak
Nesya seraya mengguncang punggungku lagi.
“eh
kenapa Nes….pak Usman manggil aku?”jawabku kaget.
“kamu
masih mikirin tentang beasiswa itu ya???aku tau kamu mungkin kaget karena ada
yang rebut posisimu…but wake up girl!ga selamanya orang diatas..mungkin memang
bukan rejekimu…”ucap Nesya. Aku tahu Nesya bermaksud menghiburku. Aku juga tahu
kenapa dari tadi dia tidak membahas kejadian di aula karena menghargai yang
mungkin kecewa. Nesya memang bukan seorang penghibur, dia selalu berbicara
realistis. Dan aku juga tahu pasti butuh waktu untuk mengucapkan kata – kata
tadi.
“udahlah…aku
tahu kamu pusing mikirin empat bulan yang akan datang…tapi daripada pusing
pikirin aja masalah hari ini…yang buat besok pikirin besok…ngapain pusing…ntar
aku bantuin dah pusingnya….kantin yuk!!!aku traktir itung – itung merayakan aku
ranking Sembilan…hahahaha”
Aku
hanya bisa tertawa mendengar ucapan Nesya. Aku tahu Nesya pastilah senang
karena bisa masuk sepuluh besar, bukan hanya Nesya tapi mamanya pun terlalu
berlebihan dalam merayakannya.Yah mungkin aku yang terlalu memikirkan masalah
itu. Tapi entah kenapa aku lebih tertarik ke perpustakaan.
“Nes…tapi
aku lagi pengin di perpus dech….gpp ya kamu ke kantin sendirian?”kataku.
“yaudah
terserah kamu…ntar aku beliin makanan buat kamu ya….biasa khan…”
“matatih…neca….”
“cama….cama….ia….”jawab
Nesya. Kamipun tertawa mendengar ucapan kami yang sok imut itu.
Tidak
perlu waktu lama untuk sampai ke perpustakaan. Hanya butuh satu belokan dari
arah kelasku. Aku menyukai perpustakaan karena tempat ini selalu sepi. Bukan
karena tempat ini dilarang berisik, tapi karena tempat ini jauh dari keramaian.
Eh tapi kenapa perpustakaan jadi ramai gini ya.
“Tan,
ada apaan sech kok banyak banget yang liat ke jendela….”tanyaku. Tania adalah
sumber dari segala informasi. Entah kenapa setiap ada sesuatu yang baru di
sekolah ini Tanialah orang nomor satu yang tahu. Tania pernah bilang kalau itu
semua karena kupingnya yang super tajam dalam mendengar.
“aduh
Lia…ga ngerti orang lagi sibuk…ganggu aja…”
“ganggu
apaan orang dari tadi lu cuma liat jendela…” ucapku heran.
“ye
bukan jendelanya yang diliat tapi tuch dibalik jendelanya..ada makhluk tuhan
yang paling indah Lia…..Narendra….”ucap Tania dengan mata yang tak mau lepas
dari sosok Narendra. Oh itu yang namanya Narendra, dulu aku tidak terlalu
antusias saat semua orang membicarakan anak baru. Waktu itu aku lagi sibuk –
sibuknya membagi waktu antara belajar dan mengajar les. Jadi biasanya istirahat
aku tetap di kelas untuk belajar. Ternyata lumayan juga pantas banyak banget
penggemarnya.
Aku
pun berbalik haluan menuju kantin, tadinya memang ingin menenangkan diri ke
perpustakaan tapi malah jadi rame. Kesal aku pun melangkah menuju kantin
menyusul Nesya.
“Lia…..!!!!”
Eh
siapa yang panggil namaku ya. Oh rupanya Burhan tapi tumben dia ada disini.
“nape
bos…kayak lagi neriakin maling dech….” Kataku.
Burhan
tidak langsung menjawab melainkan mengatur nafasnya yang tidak teratur gara –
gara mengejarku tadi.
“cepet
banget sech jalanmu Lia…”ucap Burhan sambil ngos – ngosan. Akupun hanya
tersenyum simpul. Sudah banyak orang yang mengomentari jalanku dan Burhan orang
kesekian yang berkomentar.
“eh…Lia..pulang
sekolah masih ngelesin adeknya Nesya ga?”Tanya Burhan.
“masih
kok seminggu tiga kali..emang kenapa?”tanyaku. aku memang mencari uang tambahan
dengan memberikan les pada adek Nesya. Keluarga Nesya sangat baik, sering kali
uang yang aku terima lebih tinggi dari kebanyakan murid – murid lesku. Tapi
sekarang karena aku kelas tiga aku hanya memberikan les pada adik Nesya.
“aku
mau nawarin kerjaan nech…jadi kasir di minimarket ibuku…ibuku lagi butuh
orang..dan penginnya sech kamu lagi yang jadi kasir…”ucap Burhan.
Sebenarnya
tawaran Burhan sangat pas dengan kondisiku yang butuh uang tambahan untuk
membiayai sekolahku dan untuk biaya kuliahku. Apalagi dulu juga aku sering
membantu ibu Burhan di minimarketnya.
“malah
ngelamun…gimana mau ga..kalo mau ntar sore langsung ke minimarket ya…” ucap
Burhan.
“eh
iya…iya..mau…tapi shiftku sore aja ya..malamnya aku mesti ngelesin…”
“oke
lah..gampang diatur itu…kantin yuk….aku traktir dech…”
“oke….”
Sore
itu aku pun benar – benar memenuhi janjiku untuk bekerja paruh waktu di
minimarket ibu Burhan. Tentu saja aku sudah meminta ijin pada bu Yasmin untuk
bekerja paruh waktu. Sesampai disana banyak sekali pekerjaan yang menunggu.
Rupanya Burhan tidak berbohong sewaktu dia mengatakan di minimarket sedang
banyak pekerjaan.
Eh
tapi rasanya aku kenal dengan pembeli itu, sepertinya aku pernah melihat dia
tapi dimana ya?. Lho kenapa Burhan bisa kenal dengan orang itu, apa dia satu
sekolah denganku ya.
“kasir
kok ngelamun….?”.Eh sejak kapan dia sudah ada di kasir. Ketahuan dech aku
melamun.
“eh
enggak kok kata sapa…”kataku gugup. Akupun mulai menghitung belanjaannya.
Sebenarnya dia tidak bisa dibilang
belanja hanya membeli air mineral.
“apa
kamu memang selalu cemberut seperti itu?” tiba – tiba dia bersuara.
“jangan
sok tau…kamu khan baru pertama kesini”ucapku sewot. Terang saja aku bersikap
judes karena sekarang aku baru ingat siapa dia. Dia adalah orang yang sudah
merebut beasiswaku.
“wah
kamu yang sok tau..aku sering kesini
kok..ini mini market Burhan khan..”ucapnya dan rasanya dia tersenyum kepadaku.
Senyumnya manis sekali tapi entah kenapa semuanya jadi hilang bila ingat siapa
dia.
“hei
kalian sudah saling kenal ya….”tegur Burhan.
“ah
enggak…kayaknya temenmu itu kurang bersahabat sama aku…”ucapnya santai. Aku
hanya bisa diam saja. Rasanya malas sekali berbicara dengan dia. Ah ada apa
denganmu Nathalia, bukan salahnya juga kalau kamu tidak bisa mendapatkan
beasiswa itu lagi.
“owh
lagi PMS kali Ren…udah biarin aja ntar…” belum selesai Burhan menyelesaikan
ucapannya tanganku sudah mencubit badannya yang subur itu. Burhan hanya bisa
tertawa melihat wajahku yang semakin judes.
“aku
permisi Bur…mau siap – siap pulang…” ucapku tanpa memperdulikan Narendra. Aduh
Nathalia dia khan ga salah apa – apa masa iya kamu musuhin kayak gitu.
“Lia..aku
minta maaf kalau karena aku kamu jadi kehilangan beasiswamu…aku tidak tahu
kalau ternyata selama ini kamu yang selalu dapat beasiswa itu..,kalau kamu mau
aku bisa bilang ke kepsek buat ngasih beasiswa itu ke kamu…”
“heh!!kamu
pikir aku ga bisa apa ngebiayain sekolahku sendiri…aku ga perlu ya bantuan dari
kamu..kenal aja baru sekarang…” ujarku memotong pembicaraannya yang belum
selesai. Akupun keluar dari mini market dengan hati yang dongkol, marah, malu
dan bahkan ada setitik perasaan bersalah. Kenapa aku harus berbicara sekasar
itu kepada Narendra, padahal dia tadi berusaha membantuku dan berusaha ramah
padaku.
Sial!kenapa
dari tadi tidak ada angkot yang lewat. Eh bungkusan apa itu, kenapa ada di
halte bus ini. Eh jangan – jangan isinya bom lagi. Akhir – akhir ini khan
banyak berita bom dimana –dimana. Aduh bagaimana ini, kenapa hanya aku
sendirian disini. Akhirya akupun memberanikan diri membuka bungkusan itu. eh
teryata di dalamnya ada sebuah alamat dan ada amplop cokelat. Tapi isinya apa
ya??ASTAGA!!!ini uang banyak sekali. Bagaimana ini, aduh gimana ya. Udah Lia
ambil aja itu namanya rejeki lumayan buat biaya sekolahmu dan tabungan
persiapan kuliah, kayaknya uangnya sekitar lima puluh jutaan lumayan lah Lia.
Eh jangan Lia, mending kembaliin aja sama yang punya. Siapa tahu orang itu
butuh banget sama uang itu. Apalagi dalam bungkusan ada alamatnya khan. Aduh
kenapa rasanya ada malaikat dan setan dalam otakku. Ya Tuhan bagaimana ini. Ah
apa aku harus membawa pulang ini ya ke panti. Apalagi temen sekamarku Mia
sedang ikut kemah di sekolahnya.
“
memang mama taruh mana sech bungkusannya?” ucapku tenang. Sudah sering kali
mama kehilangan barangnya karena kecerobohannya. Sebenarnya aku juga panik
karena kali ini mama benar – benar kehilangan barang yang sangat berharga.
“aduh
tadi perasaan mama udah masukin ke tas kok…kata pak Budi dia udah nyari di
jalan yang tadi mama lewati tapi ga ada…aduh gimana ini nak…” akhirnya mama
menangis juga setelah berusaha menahan tangisnya. Tadi juga aku ikut mencari di
jalan – jalan yang mungkin mama lewati bersama pak Budi. Tapi semuanya nihil,
rasanya bungkusan itu hilang ditelan bumi eh salah mungkin hilang di telan
perut orang. Tidak salah aku mengumpamakan ini karena dalam bungkusan itu ada
uang cash sebesar lima puluh lima jutaan. Uang itu akan mama gunakan untuk
membayar gaji karyawan mama di katering dan untuk membayar sewa butik mama.
“udah
ma…kita berdoa aja biar kalau ada yang nemu balikin kita…” aku mencoba
menghibur mama. Walau aku tahu itu akan sia – sia, mana mungkin ada yang mau
mengembalikan uang sebanyak itu di jaman sekarang.
Hari
ini rasanya badanku ringan sekali, seakan semua beban yang ada dalam pikiranku
semua hilang. Hanya seakan karena beban itu masih ada dan harus di pecahkan.
Rasanya aku sudah bisa bernafas lega karena aku sudah tidak usah memikirkan
uang temuan itu. Akhirnya setelah 2 x 24 jam dan setelah membut Nesya kesal
karena selama dua hari aku hanya diam saja menanggapi semua ocehannya, akhirnya
aku mengembalikan uang itu ke alamat yang ada dalam amplop. Ternyata uang itu
merupakan pembayaran katering, karena pemilik alamat tersebut telah menggunakan
katering tersebut. Dia berjanji akan menghubungi pemilik uang tersebut. Tapi
ibu itu meminta alamatku, katanya siapa tahu nanti temannya ingin mengucapkan
terima kasih. Akupun akhirnya memberikan alamat panti ini.
“
mba Riani dipanggil bu Yasmi di kantor…katanya ada tamu” ucap Mia. Eh tumben
sore – sore bu Yasmin memanggilku. Tapi siapa tamu yang mau menemuiku ya.
Biasanya kalau Nesya atau Burhan bisa langsung ke ruang tengah.
“eh
kamu ngapain disini….”. Apa tamu yang bu Yasmin itu si Narendra? Tapi kenapa
dia tahu aku disini?.
“Lho
Lia kamu tinggal disini??aku baru tau….aku kesini cuma nemenin ibuku”ucapnya.
Hah!apa dia bilang, dia hanya menemani ibunya. Untuk apa ibunya kesini.
“Lho
Riani kamu kok disini? Ibu tunggu di kantor malah kamu ngobrol disini?” kata Bu
yasmin.
“
oh ini yang namanya Riani…saya Bu Tika…saya benar – benar terima kasih lho nak
Riani menemukan bungkusan itu…”. oh jadi ini yang memiliki uang sebanyak itu.
“
eh kok Riani…bukannya namamu Nathalia ya….”ucap Narendra kebingungan.
“
Namaku itu Nathalia Oktariani…tapi disini semua orang memanggilku Riani…”. Aku
menjelaskan kepada Narendra sambil tersenyum.
“
ya sudah yuk kita ke kantor…bu Tika ingin ngobrol penting dengan kamu Riani”.
Akhirnya
kamipun berjalan menuju kantor. Aku sempat berpikir apa yang akan dibicarakan
oleh bu Tika ya. Apa uangnya berkurang tapi aku tidak mengambil uang itu. Tiba
– tiba wajahku mulai memucat membayangkan hal – hal buruk yang mungkin akan
terjadi.
“nak
Riani kok tiba – tiba wajahnya kelihatan pucat??kamu sakit nak…”
“
bu Tika…sungguh bu saya ga ambil uang itu sepeser pun….bener bu….semuanya saya
kasih ke temen ibu itu…”ucapku sambil menangis bukan menangis tapi rasanya aku hampir
saja berteriak.
“eh
Lia kenapa tiba – tiba kamu jadi lebay gitu sech…”hah!apa dia bilang aku
lebay!itu bukan lebay tapi panik. Bagaimana kalau aku dituduh pencuri.
“
Riani..Bu Tika kesini ingin mengucapkan terima kasih kepadamu karena kamu sudah
menemukan barang milik beliau….dan barang itu utuh tidak ada yang kurang…bu
Tika ingin memberikanmu hadiah….”suara Bu Yasmin terasa menyejukkan.
“
Begini nak Riani…sebagai ucapan terima kasih…Ibu akan membiayai seluruh
keperluan sekolahmu sampai kamu lulus…jadi kamu ga usah kuatir dengan
sekolahmu…”
Rasanya
seperti padang tandus yang terkena guyuran hujan. Aku hanya bisa terdiam tapi
rupanya air mataku tidak bisa diam. Aku hanya bisa menangis bahagia.
“jadi
hasil pekerjaan paruh waktumu bisa kamu tabung untuk biaya kuliahmu kelak…”ucap
Bu Yasmin. Beliau hanya bisa membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
“
ternyata cewe galak kayak kamu bisa cengeng juga ya….aku pikir…”
Lagi
– lagi aku memotong pembicaraannya dengan cubitanku yang keras. Kamipun tertwa
bersama.